BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konferensi
Malino yang bertujuan untuk membentuk Negara-negara federal didaerah yang baru
diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda yang diselenggarakan
pada tanggal 15-26 Juli 1946. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka
diselenggarakan juga Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946.
Agresi
Militer Belanda I, yang juga hampir pada waktu yang bersamaan, juga terus
mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara
kedua belah pihak semakin meningkat. Dan secara ekonomis, Belanda juga berhasil
menciptakan kesulitan bagi RI.
Sampai
dengan Perjanjian Renville yang resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 yang
malah menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan pemerintahan yang tidak
sesuai dengan yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati.
Pada bulan-bulan Oktober 1946 telah
dilaksanakan perundingan-perundingan hingga disepakati suatu gencatan
senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat
Cirebon)dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”. Namun
persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling
tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga menimpulkan
pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang telah
dibuat. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di
samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di
Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia
Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15–25 Juli 1946, van Mook
menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946.
Kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18–24
Desember 1946, dimana kemudian dibentuk negara Indonesia Timur. Tindakan
Van Mook membenarkan keragu-raguan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang
kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan Linggajati. Perundingan
Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang
lebih banyak dari negerinya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan tentang Agresi Militer I dan II
Agresi Militer?
2.
Jalskan tentang Agresi Militer I ?
3.
Jelaskan tentang Agresi Militer II?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agresi Militer I dan II
Agresi Militer
Belanda I adalah
operasi militer belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang
dilaksanakan dari 21 juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi Militer ini
merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut
pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari
hasil perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi
Militer Belanda II atau operasi Gagak adalah operasi militet belanda kedua yang
terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta,
ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Muhammad Hatta,
Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibukota negara ini menyebabkan
dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin
oleh Sjafrudin Prawiranegara.
B. Agresi
Militer Belanda 1
1. Latar Belakang Terjadinya Agresi
Militer Belanda1
Perselisihan pendapat sebagai akibat
perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggarjati makin
memuncak. Belanda tetap mendasarkan tafsir pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal
7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota “commonwealth” dan akan
berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya di urus Belanda. Sedang
Pemerintah Republik Indonesia memperjuangkan terwujudnya Republik Indonesia
yang berdaulat penuh dan diakui oleh pihak Belanda. Belanda juga menuntut agar
segera diadakan gendarmerie (pasukan keamanan) bersama.
Di tambah dengan
kesulitan ekonomi negaranya yang kian memburuk, Belanda berusaha menyelesaikan
“masalah Indonesia” dengan cepat. Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan
nota yang merupakan ultimatum dan harus dijawab oleh Pemerintah Republik
Indonesia dalam waktu 14 hari. Pokok-pokok nota tersebut adalah sebagai berikut
:
a.
Membentuk Pemerintahan AD interim
bersama,
b.
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan
lembaga devisa bersama,
c.
Republik Indonesia harus mengirimkan
beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda,
d.
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban
bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda yaitu
gendarmerie (pasukan keamanan) bersama, dan 5. Menyelenggarakan penilikan
bersama atas impor dan ekspor.
Perdana Menteri
Syahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa
peralihan, tetapi menolak gendarmerie (pasukan keamanan). Jawaban ini
mendatangkan reaksi keras dari kalangan partai-partai politik dan berakibat
jatuhnya kebinet Syahrir.
Pada tanggal 15
Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan
sejauh 10 km dari garis demarkasi. Pada saat itu Belanda tetap menuntut adanya
gendarmerie (pasukan keamanan) bersama dan minta agar Republik Indonesia
menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Nota tersebut kemudian disusul lagi
dengan sebuah ultimatum bahwa dalam waktu 32 jam Republik Indonesia harus
memberi jawaban terhadap tuntutan Belanda. Jawaban Pemerintah Republik
Indonesia yang disampaikan oleh perdana Menteri Amir Syarifuddin pada tanggal
17 Juli 1947 melalui RRI Yogyakarta ditolak oleh Belanda.
Tujuan utama
Agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah
yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak dan juga secara perlahan
Belanda ingin menghancurkan RI. Namun usaha tersebut tidak dilakukannya
sekaligus, karena itu pada tahap pertama Belanda harus mencapai sasaran sebagai
berikut:
a.
Politik, yaitu pengepungan ibukota RI
dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI);
b.
Ekonomi, yaitu merebut daerah-daerah
penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan
ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera serta pertambangan di
Sumatera);
c.
Militer, yaitu penghancuran TNI.
Sebagai kedok
kepada dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi
Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan
Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana
dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan
Linggarjati.
2. Kronologis Terjadinya Agresi
Militer Belanda 1
Konferensi pers
pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan
pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di
beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda
sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi
militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat,
yaitu Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa
Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran
utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik
gula.
Pada agresi
militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps
Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling dan Pasukan Para I (1e para
compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST)
yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling pembantaian di Sulawesi Selatan
belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan
dikirim juga ke Sumatera Barat. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik
dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari
Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan
mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto Agustinus
Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I
Adisumarmo Wiryokusumo.
Serangan yang
dilakukan oleh Belanda dilatarbelakangi oleh tidak dikabulkannya tuntutan
Belanda. Pasukan bersenjata Belanda dengan bantuan angkatan udara yang kuat,
menyebar ke daratan dari pangkalan pelabuhan laut mereka di Jawa dan Sumatra.
Mereka menyusup ke dalam wilayah Republik. Dalam waktu dua minggu, Belanda
sudah menguasai kebanyakan kota besar dan kota-kota kecil utama di Jawa Barat
dan Jawa Timur, sebagian hubungan-hubungan komunikasi utama di antara kota-kota
tersebut, dan telah menduduki pelabuhan-pelabuhan perairan laut dalam Republik
lainnya, yang terletak di Jawa. Selain itu mereka berhasil menguasai daerah-daerah
penghasil minyak yang berharga di sekitar kota Palembang serta
pelabuhan-pelabuhan utama di pantai Sumatra Barat. Agresi tentara Belanda
berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat
penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Agresi
terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang hebat dari
dunia.
3. Upaya Penyelesaian Agresi Militer
Belanda 1
Pada tanggal 28
Juli, India melalui perdana menteri Nehru mengumumkan bahwa India akan menyerahkan
situasi Indonesia kepada PBB. Dua hari kemudian, India dan Australia membawa
pertikaian antara Indonesia dan Belanda ke hadapan PBB. Austrlia meminta campur
tangan PBB dengan alasan bahwa saat itu sudah terjadi suatu pelanggaran
perdamaian, sedangkan alasan India adalah pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional berada dalam bahaya. Australia mengusulkan suatu resolusi yang
menyerukan agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan pertempuran, dan
meyerahkan pertikaian mereka kepada wasit pihak ketiga seperti yang disebutkan
dalam persetujuan Linggartjati.
Tanggal 1
Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua
belah pihak yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947. Penghentian permusuhan
ini dilakukan dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN). Pemerintah Indonesia
meminta Australia untuk menjadi anggota komisi, sedangkan Belanda memilih
Belgia. Kedua negara sepakat memilih Amerika Serikat. Australia diwakili oleh
Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zealand, dan Amerika diwakili oleh Dr.
Frank Graham, untuk melaksanakan tugas tersebut Komisi Tiga Negara mengadakan
pertemuannya di Sydney pada tanggal 20 Oktober 1947. Dan pada tanggal 8
Desember, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi Republik
dan delegasi Belanda dalam wilayah yang netral, yaitu di geladak kapal Renville
yang berlabuh di pelabuhan Batavia. KTN berhasil mempertemukan kembali kedua
belah pihak untuk menandatangani perstujuan genjatan senjata dengan
prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama dengan disaksikan KTN di
atas kapal Renville pada 17 Januari 1948.
C.
Agresi Militer Belanda 2
1. Latar Belakang Terjadinya Agresi
Militer Belanda 2
Perundingan-perundingan
yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui jalan buntu, sebab
Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima Republik
Indonesia, seperti penafsiran “Garis Van Mook” sebagai garis demarkasi antara
daerah yang masuk kekuasaan Republik dan Daerah yang menjadi kekuasaan Belanda,
serta masalah pembentukan Pemerintahan adinterim Negara Indonesia Serikat.
Tawaran rencana
KTN yang terkenal dengan “Usul Chritchley-Dobuis” (anggota KTN dari Australia
dan Amerika) ditolak pula oleh pihak Belanda karena tidak menguntungkan.
Pemerintah Belanda memperhitungkan pula bahwa pertikaian yang terjadi di
kalangan Republik Indonesia sebagai akibat dari perjanjian Renville,
kegoncangan di kalangan TNI sehubungan dengan adanya rekontruksi dan
rasionalisasi, serta penumpasan pemberontakan PKI Madiun yang menelan daya
upaya dan kekuatan Republik, memberikan kesempatan bagi Belanda untuk lebih
menekan Republik Indonesia.
Dalam situasi
yang gawat ini, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Bung Hatta selaku
pimpinan pemerintahan meminta kembali KTN untuk menyelenggarakan perundingan
dengan Belanda, bahkan dengan syarat “kesediaan Republik Indonesia mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan”. Uluran tangan tersebut dijawab oleh
Belanda pada tanggal itu juga bahwa perundingan tidak akan diadakan lagi
apabila tidak didasarkan pada tuntutan-tuntutan yang diajukan Belanda.
2. Kronologis Terjadinya Agresi
Militer Belanda 2
Pada 21.00
tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf
Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai
pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 Belanda tidak lagi terikat dengan
persetujuan Renville dan perjanjian genjatan senjat. Berita ini tidak berhasil
disampaikan ke pemerintahan RI di Yogyakarta pada malam itu juga karena
dihalangi oleh Belanda. Berita pertama tentang Belanda memutuskan Perjanjian
Genjatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 berupa suatu
serangan pesawat pembom Belanda (Mitchel buatan Amerika) di atas lapangan udara
terdeka. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan
pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu
beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam
keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI
bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST
Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25
menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout.
Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak
satu pun jatuh korban. Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST
telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M
sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T-
beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah
terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta. Serangan terhadap kota
Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di
kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa
penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Menjelang tengah
petang, setelah mengepung kota, Brigade Marinir Belanda, dibantu oleh sejumlah
besar pasukan Ambon dari KNIL berhasil mencapai pusat kota ke istana Presiden.
Taktik cepat yang digunakan Belanda berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir,
dan separuh anggota kabinet Republik. Sebelum tertangkap, kabinet sempat
bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
tidak akan meninggalkan ibukota. Hal ini dikarenakan tidak adanya pasukan yang
mengawal mereka ke luar kota. Selain itu, apabila tetap di dalam kota, hubungan
dengan KTN masih dapat dilakukan dan dengan perantaraan KTN, perundingan dengan
Belanda dapat dibuka kembali. Keputusan yang lain dari sidang pada tanggal 19
Desember 1948 adalah memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin
Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra. Mandat juga
diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N, Palar untuk membentuk
exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin Prawiranegara gagal.
3. Upaya Penyelesaian Agresi Militer
Belanda 2
Pada tanggal 20
Desember 1948 pagi, Belanda meminta agar Soekarno memerintahkan pasukan
Republik menghentikan perlawanan. Soekarno menolak dan pada tanggal 22 Desember
ia, Hatta, Sjahrir, Mr. Assaat, Mr Abdul Gafar Pringgodigdo, H Agoes Salim, Mr
Ali Sastroamodjojo, dan Komodor Udara Suriadarma diterbangkan Belanda ke Pulau
Bangka. Di sana, Soekarno, Sjahrir, dan Salim dipisahkan dengan yang lainnya
dan diterbangkan ke Berastagi, kemudian ke Prapat dan Danau Toba.
Jatuhnya
Yogyakarta ke tangan Belanda dan tertangkapnya pemimpin negara yang kemudian di
asingkan membuat Penglima Besar Soedirman Berangkat ke luar kota untuk memimpin
perang gerilya. Sesuai dengan rencana, Angakatan Perang mengundurkan diri ke
luar kota untuk melakukan perang gerilya. Perjalanan bergerilya selama delapan
bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak
jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras.
Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke
Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Kolonel A.H.
Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan
rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu
pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah
federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk
kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya
yang luas.Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville
melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi melakukan long march
dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. TNI membentuk daerah-daerah pertahanan
(wehrkreise) di luar kota. Setelah berhasil melakukan konsolidasi, TNI mulai
melakukan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pukulan yang pertama adalah
garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Mereka merusak jaringan telepon,
jaringan rel kereta api, dan konvoi-konvoi Belanda di hadang dan dihancurkan.
Situasi perang
mulai berbalik. TNI yang pada awalnya bertahan mulai beralih dengan taktik
menyerang. Mereka tidak lagi hanya mencegat dan menyerang konvoi-konvoi Belanda
serta menyerang pos-pos terpencil, tetapi mereka juga menyerang kota-kota yang
diduduki oleh Belanda. Serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949
dibawah pimpinan Letkol Soeharto berhasil dilakukan selama enam jam. Hal ini
membuktikan kepada dunia luar bahwa TNI dan Republik Indonesia masih eksis.
Adanya Agresi
Militer Belanda 2 ini tentunya dilihat oleh mata dunia Internasional. Setelah
pada Agresi Militer Belanda 1, Belanda mendapat kecaman, sekarang Belanda pun
dikutuk. Dunia bahkan mendukung perjuangan Bangsa Indonesia untuk
mempertahankan kemerdakaannya. Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan
“Negara boneka” karya Belanda ikut mengutuk tindakan Agresi Militer Belanda 2
tersebut. Pada tanggal 20 hingga 23 Januari 1949, atas usulan Burma (sekarang
Mnyanmar) dan India, digelarlah Konferensi Asia di New Delhi, India. Kenferensi
itu sendiri dihadiri oleh beberapa negara di Asia, Afrika dan Australia.
Hasilnya berupa resolusi tentang permasalahan Indonesia yang lalu disampaikan
kepada Dewan Keamanan PBB.
PBB juga
mengutuk Agresi Militer Belanda 2, sebab menurut pandanga PBB, Belanda sudah
secara terang-terangan menginjak-injak kesepakatan dalam Perjanjian Renville
yang ketika itu ditandatangani oleh Komisi Tiga Negara (KTN), wakil dari PBB.
Pada tanggal 4 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi supaya
Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan kembali ke meja
perundingan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agresi Militer Belanda
I adalah operasi militer belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik
Indonesia yang dilaksanakan dari 21 juli 1947 sampai 5 agustus 1947. Operasi
militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda
dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas perundingan Linggarjati.
Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan
pelanggaran Linggarjati. Agresi Militer Belanda II dimulai ketika pihak belanda
yang tetap bersikukuh menguasai indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar
perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak belanda menuduh jika pihak
indonesia tidak menjalankan isi perundingan Renville. Oleh karena itu pihak TNI
dan pemerintah indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu belanda akan
melakukan aksi militernya untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata.
B. Saran
Adapun dari penulisan
makalah ini kami selaku penulis menyarankan kepada generasi muda agar tetap
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan cara ikut berpartisipasi dalam
mengisi kemerdekaan Indonesia dan mencontoh semangat para pahlawan terdahulu
dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh warga Indonesia wajib menghargai dan
menghormati jasa-jasa para pahlawan Indonesia. Dan satu lagi jangan pernar
melihat orang dari apa yang dia berikan.
No comments:
Post a Comment