Tuesday, January 31, 2017

Makalah Agresi Militer Belanda 1 dan 2



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Konferensi Malino yang bertujuan untuk membentuk Negara-negara federal didaerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda yang diselenggarakan pada tanggal 15-26 Juli 1946. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan juga Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946.
Agresi Militer Belanda I, yang juga hampir pada waktu yang bersamaan, juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Dan secara ekonomis, Belanda juga berhasil menciptakan kesulitan bagi RI.
Sampai dengan Perjanjian Renville yang resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 yang malah menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan pemerintahan yang tidak sesuai dengan yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati.
Pada bulan-bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan hingga disepakati suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat Cirebon)dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”. Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga menimpulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang telah dibuat. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15–25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18–24 Desember 1946, dimana kemudian dibentuk negara Indonesia Timur.  Tindakan Van Mook membenarkan keragu-raguan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan tentang Agresi Militer I dan II Agresi Militer?
2.      Jalskan tentang Agresi Militer I ?
3.      Jelaskan tentang Agresi Militer II?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agresi Militer I dan II Agresi Militer
Belanda I adalah operasi militer belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi Militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II atau operasi Gagak adalah operasi militet belanda kedua yang terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibukota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafrudin Prawiranegara.

B.     Agresi Militer Belanda 1
1.      Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda1
Hasil gambar untuk agresi militer belanda 1Perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggarjati makin memuncak. Belanda tetap mendasarkan tafsir pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota “commonwealth” dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya di urus Belanda. Sedang Pemerintah Republik Indonesia memperjuangkan terwujudnya Republik Indonesia yang berdaulat penuh dan diakui oleh pihak Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan gendarmerie (pasukan keamanan) bersama.
Di tambah dengan kesulitan ekonomi negaranya yang kian memburuk, Belanda berusaha menyelesaikan “masalah Indonesia” dengan cepat. Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan nota yang merupakan ultimatum dan harus dijawab oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam waktu 14 hari. Pokok-pokok nota tersebut adalah sebagai berikut :
a.     Membentuk Pemerintahan AD interim bersama, 
b.    Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama, 
c.     Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda, 
d.    Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda yaitu gendarmerie (pasukan keamanan) bersama, dan 5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor.
Perdana Menteri Syahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie (pasukan keamanan). Jawaban ini mendatangkan reaksi keras dari kalangan partai-partai politik dan berakibat jatuhnya kebinet Syahrir.
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Pada saat itu Belanda tetap menuntut adanya gendarmerie (pasukan keamanan) bersama dan minta agar Republik Indonesia menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Nota tersebut kemudian disusul lagi dengan sebuah ultimatum bahwa dalam waktu 32 jam Republik Indonesia harus memberi jawaban terhadap tuntutan Belanda. Jawaban Pemerintah Republik Indonesia yang disampaikan oleh perdana Menteri Amir Syarifuddin pada tanggal 17 Juli 1947 melalui RRI Yogyakarta ditolak oleh Belanda.
Tujuan utama Agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak dan juga secara perlahan Belanda ingin menghancurkan RI. Namun usaha tersebut tidak dilakukannya sekaligus, karena itu pada tahap pertama Belanda harus mencapai sasaran sebagai berikut:
a.       Politik, yaitu pengepungan ibukota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI); 
b.    Ekonomi, yaitu merebut daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera serta pertambangan di Sumatera); 
c.     Militer, yaitu penghancuran TNI.
Sebagai kedok kepada dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati.

2.      Kronologis Terjadinya Agresi Militer Belanda 1
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Serangan yang dilakukan oleh Belanda dilatarbelakangi oleh tidak dikabulkannya tuntutan Belanda. Pasukan bersenjata Belanda dengan bantuan angkatan udara yang kuat, menyebar ke daratan dari pangkalan pelabuhan laut mereka di Jawa dan Sumatra. Mereka menyusup ke dalam wilayah Republik. Dalam waktu dua minggu, Belanda sudah menguasai kebanyakan kota besar dan kota-kota kecil utama di Jawa Barat dan Jawa Timur, sebagian hubungan-hubungan komunikasi utama di antara kota-kota tersebut, dan telah menduduki pelabuhan-pelabuhan perairan laut dalam Republik lainnya, yang terletak di Jawa. Selain itu mereka berhasil menguasai daerah-daerah penghasil minyak yang berharga di sekitar kota Palembang serta pelabuhan-pelabuhan utama di pantai Sumatra Barat. Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia.
3.      Upaya Penyelesaian Agresi Militer Belanda 1
Pada tanggal 28 Juli, India melalui perdana menteri Nehru mengumumkan bahwa India akan menyerahkan situasi Indonesia kepada PBB. Dua hari kemudian, India dan Australia membawa pertikaian antara Indonesia dan Belanda ke hadapan PBB. Austrlia meminta campur tangan PBB dengan alasan bahwa saat itu sudah terjadi suatu pelanggaran perdamaian, sedangkan alasan India adalah pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional berada dalam bahaya. Australia mengusulkan suatu resolusi yang menyerukan agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan pertempuran, dan meyerahkan pertikaian mereka kepada wasit pihak ketiga seperti yang disebutkan dalam persetujuan Linggartjati.
Tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947. Penghentian permusuhan ini dilakukan dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN). Pemerintah Indonesia meminta Australia untuk menjadi anggota komisi, sedangkan Belanda memilih Belgia. Kedua negara sepakat memilih Amerika Serikat. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zealand, dan Amerika diwakili oleh Dr. Frank Graham, untuk melaksanakan tugas tersebut Komisi Tiga Negara mengadakan pertemuannya di Sydney pada tanggal 20 Oktober 1947. Dan pada tanggal 8 Desember, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi Republik dan delegasi Belanda dalam wilayah yang netral, yaitu di geladak kapal Renville yang berlabuh di pelabuhan Batavia. KTN berhasil mempertemukan kembali kedua belah pihak untuk menandatangani perstujuan genjatan senjata dengan prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama dengan disaksikan KTN di atas kapal Renville pada 17 Januari 1948.

C.    Agresi Militer Belanda 2
1.      Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 2
Hasil gambar untuk agresi militer belanda 2Perundingan-perundingan yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui jalan buntu, sebab Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima Republik Indonesia, seperti penafsiran “Garis Van Mook” sebagai garis demarkasi antara daerah yang masuk kekuasaan Republik dan Daerah yang menjadi kekuasaan Belanda, serta masalah pembentukan Pemerintahan adinterim Negara Indonesia Serikat.
Tawaran rencana KTN yang terkenal dengan “Usul Chritchley-Dobuis” (anggota KTN dari Australia dan Amerika) ditolak pula oleh pihak Belanda karena tidak menguntungkan. Pemerintah Belanda memperhitungkan pula bahwa pertikaian yang terjadi di kalangan Republik Indonesia sebagai akibat dari perjanjian Renville, kegoncangan di kalangan TNI sehubungan dengan adanya rekontruksi dan rasionalisasi, serta penumpasan pemberontakan PKI Madiun yang menelan daya upaya dan kekuatan Republik, memberikan kesempatan bagi Belanda untuk lebih menekan Republik Indonesia.
Dalam situasi yang gawat ini, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Bung Hatta selaku pimpinan pemerintahan meminta kembali KTN untuk menyelenggarakan perundingan dengan Belanda, bahkan dengan syarat “kesediaan Republik Indonesia mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan”. Uluran tangan tersebut dijawab oleh Belanda pada tanggal itu juga bahwa perundingan tidak akan diadakan lagi apabila tidak didasarkan pada tuntutan-tuntutan yang diajukan Belanda.
2.      Kronologis Terjadinya Agresi Militer Belanda 2
Pada 21.00 tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 Belanda tidak lagi terikat dengan persetujuan Renville dan perjanjian genjatan senjat. Berita ini tidak berhasil disampaikan ke pemerintahan RI di Yogyakarta pada malam itu juga karena dihalangi oleh Belanda. Berita pertama tentang Belanda memutuskan Perjanjian Genjatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 berupa suatu serangan pesawat pembom Belanda (Mitchel buatan Amerika) di atas lapangan udara terdeka. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban. Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta. Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Menjelang tengah petang, setelah mengepung kota, Brigade Marinir Belanda, dibantu oleh sejumlah besar pasukan Ambon dari KNIL berhasil mencapai pusat kota ke istana Presiden. Taktik cepat yang digunakan Belanda berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan separuh anggota kabinet Republik. Sebelum tertangkap, kabinet sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak akan meninggalkan ibukota. Hal ini dikarenakan tidak adanya pasukan yang mengawal mereka ke luar kota. Selain itu, apabila tetap di dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat dilakukan dan dengan perantaraan KTN, perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali. Keputusan yang lain dari sidang pada tanggal 19 Desember 1948 adalah memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra. Mandat juga diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N, Palar untuk membentuk exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin Prawiranegara gagal.
3.      Upaya Penyelesaian Agresi Militer Belanda 2
Pada tanggal 20 Desember 1948 pagi, Belanda meminta agar Soekarno memerintahkan pasukan Republik menghentikan perlawanan. Soekarno menolak dan pada tanggal 22 Desember ia, Hatta, Sjahrir, Mr. Assaat, Mr Abdul Gafar Pringgodigdo, H Agoes Salim, Mr Ali Sastroamodjojo, dan Komodor Udara Suriadarma diterbangkan Belanda ke Pulau Bangka. Di sana, Soekarno, Sjahrir, dan Salim dipisahkan dengan yang lainnya dan diterbangkan ke Berastagi, kemudian ke Prapat dan Danau Toba.
Jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda dan tertangkapnya pemimpin negara yang kemudian di asingkan membuat Penglima Besar Soedirman Berangkat ke luar kota untuk memimpin perang gerilya. Sesuai dengan rencana, Angakatan Perang mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perang gerilya. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi melakukan long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. TNI membentuk daerah-daerah pertahanan (wehrkreise) di luar kota. Setelah berhasil melakukan konsolidasi, TNI mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pukulan yang pertama adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Mereka merusak jaringan telepon, jaringan rel kereta api, dan konvoi-konvoi Belanda di hadang dan dihancurkan.
Situasi perang mulai berbalik. TNI yang pada awalnya bertahan mulai beralih dengan taktik menyerang. Mereka tidak lagi hanya mencegat dan menyerang konvoi-konvoi Belanda serta menyerang pos-pos terpencil, tetapi mereka juga menyerang kota-kota yang diduduki oleh Belanda. Serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto berhasil dilakukan selama enam jam. Hal ini membuktikan kepada dunia luar bahwa TNI dan Republik Indonesia masih eksis.
Adanya Agresi Militer Belanda 2 ini tentunya dilihat oleh mata dunia Internasional. Setelah pada Agresi Militer Belanda 1, Belanda mendapat kecaman, sekarang Belanda pun dikutuk. Dunia bahkan mendukung perjuangan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdakaannya. Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan “Negara boneka” karya Belanda ikut mengutuk tindakan Agresi Militer Belanda 2 tersebut. Pada tanggal 20 hingga 23 Januari 1949, atas usulan Burma (sekarang Mnyanmar) dan India, digelarlah Konferensi Asia di New Delhi, India. Kenferensi itu sendiri dihadiri oleh beberapa negara di Asia, Afrika dan Australia. Hasilnya berupa resolusi tentang permasalahan Indonesia yang lalu disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.
PBB juga mengutuk Agresi Militer Belanda 2, sebab menurut pandanga PBB, Belanda sudah secara terang-terangan menginjak-injak kesepakatan dalam Perjanjian Renville yang ketika itu ditandatangani oleh Komisi Tiga Negara (KTN), wakil dari PBB. Pada tanggal 4 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi supaya Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan kembali ke meja perundingan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 juli 1947 sampai 5 agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran Linggarjati. Agresi Militer Belanda II dimulai ketika pihak belanda yang tetap bersikukuh menguasai indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak belanda menuduh jika pihak indonesia tidak menjalankan isi perundingan Renville. Oleh karena itu pihak TNI dan pemerintah indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu belanda akan melakukan aksi militernya untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata.


B.     Saran
Adapun dari penulisan makalah ini kami selaku penulis menyarankan kepada generasi muda agar tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan cara ikut berpartisipasi dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mencontoh semangat para pahlawan terdahulu dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh warga Indonesia wajib menghargai dan menghormati jasa-jasa para pahlawan Indonesia. Dan satu lagi jangan pernar melihat orang dari apa yang dia berikan.

Makalah Pertempuran 10 November Surabaya



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang menelan beribu-ribu orang meninggal dunia membuat saya menjadi ingin membuat penelitian tentang dampak pertempuran 10 November bagi Indonesia. Karena menurut saya pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November tersebut sangat berpengaruh bagi Indonesia sehingga Indonesia mengenang peristiwa tersebut sebagai Hari Pahlawan yang biasanya diperingati setiap tanggal 10 November. Bahkan sampai sekarang masyarakat Indonesia masih memperingati kejadian 10 November itu. Maka dari itu saya membuat penelitian ini agar saya dapat mengetahui dampak apa saja yang timbul beserta latar belakang dari kejadian tersebut

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran kejadian pertempuran 10 November?
2.      Apa dampak peristiwa pertempuran 10 November bagi Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang terjadinya pertempuran pada 10 November 1945.
2.      Mengetahui kronologi pertempuran pada 10 November 1945.
3.      Mengetahui dampak pertempuran 10 November 1945 bagi Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peristiwa 10 November
Hasil gambar untuk makalah peristiwa 10 novemberPada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 29 dari Divisi India kedua di bawah pimpinan Jenderal Mallaby mendarat di Surabaya. Pemerintah daerah Jawa Timur dan Surabaya melarang mereka masuk kota. Namun, setelah mereka berjanji hanya akan melaksanakan tugas kemanusiaan, yaitu mengevakuasi RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Internees), pemerintah daerah mengizinkan. Tatkala pasukan masuk kota, mereka langsung merebut bangunan-bangunan penting yang diduduki oleh pemuda. Peritiwa ini memicu permusuhan dengan pemuda. Sementara itu, rakyat Surabaya membaca pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang. Perintah itu ditolak. Pada malam hari tanggal 27 Oktober 1945, pemuda Surabaya melakukan serangan umum terhadap setiap kedudukan pasuka Sekutu. Serangan ini berhasil memporak-porandakan kekuatan Sekutu bahkan hampir menghancurkannya.
Pimpinan AFNEI di Jakarta meminta bantuan Presiden Soekarno agar memerintahkan penghentian serangan. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifudin terbang ke Surabaya. Kemudian diadakan perundingan antara pihak-pihak daerah, wakil-wakil pemuda Surabaya, dan AFNEI, sedangkan Soekarno, Hatta, dan Amir Syarifudin sebagai pengarah.
Pertemuan itu menyepakati dibentuk Kontak Biro, yang bertugas menyelesaikan insiden. Tatkala tim Kontak Biro mulai bekerja pada tanggal 30 Oktober 1945, pecah insiden Jembatan Merah. Brigadir Mallaby tewas dalam insiden ini. Peristiwa ini membuat AFNEI gusar. Pada tanggal 31 Oktober 1945 pimpinan AFNEI, Letnan Jenderal Christison melakukan peringatan keras bahwa pihak Sekutu tidak segan-segan menggunakan kekuatannya apabila diganggu. Peringatan Christison kemudian disusul dengan ultimatum Mayor Jenderal E. C. Mansergh, Panglima AFNEI untuk Jawa Timur. Isinya, agar para pemilik senjata menyerahkan senjatanya kepada Sekutu sampai tanggal 10 November pukul 06.00. Jika tidak ada yang mematuhi, Surabaya akan digempur. Gubernur Suryo atas nama rakyat Surabaya dan Jawa Timur menolak ultimatum itu. (Imran, Amrin.1998.Sejarah 2 Nasional dan Umum.Jakarta : PT Balai Pustaka Persero)

B.     Kronologi Pertempuran
Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengarahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota. Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6.000 personel dari brigade 49 The Fighting Cock.
David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia ; “Di pusat kota pertempuran adalah lebih dahsyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing, serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan. Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong. Perlawanan Indonesia berlangsung 2 tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Inggris kemudian memborbardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut baik meninggal maupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya dapat ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok  Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga miggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris. Para pejuang yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi meninggalkan Surabaya dan selanjutnya membuat garis pertahanan baru dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.

C.    Dampak Peristiwa 10 November Bagi Indonesia
1.      Dampak Negatif
Indonesia kehilangan setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang yang tewas dan 200.000 rakyat sipil yang mengungsi dari Surabaya. Tetapi Indonesia juga banyak mengalahkan korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2.000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Kurang lebih 160 ribu jiwa gugur saat peristiwa 10 November 1945. Paling banyak korban adalah di jalan raya Pahlawan yang saat ini dibangun Tugu Pahlawan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil menjadi korban pada hari 10 November 1945, maka Indonesia mengenang tanggal itu sebagai Hari Pahlawan sampai sekarang.
2.      Dampak Positif
Dampak lainnya yaitu dengan pertempuran Surabaya sebagai pembentukan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA di Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi bagi daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk melakukan hal yang sama.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Indonesia kehilangan setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang yang tewas dan 200.000 rakyat sipil yang mengungsi dari Surabaya. Tetapi Indonesia juga banyak mengalahkan korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2.000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Kurang lebih 160 ribu jiwa gugur saat peristiwa 10 November 1945. Paling banyak korban adalah di jalan raya Pahlawan yang saat ini dibangun Tugu Pahlawan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil menjadi korban pada hari 10 November 1945, maka Indonesia mengenang tanggal itu sebagai Hari Pahlawan sampai sekarang.
Dampak lainnya yaitu dengan pertempuran Surabaya sebagai pembentukan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA di Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi bagi daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

B.     Saran
Saya menyarankan kepada generasi muda agar dapat meneruskan perjuangan dari pahlawan-pahlawan yang telah rela mngorbankan nyawanya demi bangsa ini. Dan saya juga menyarankan agar generasi muda dapat mengenang jasa-jasa pahlawan dan tidak melupakan begitu saja jasa-jasa pahlawan kita.