Friday, January 27, 2017

Makalah Tunga Tunagrahita



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna. Di antara makhluk lainnya manusialah yang memiliki bentuk dan struktur yang paling sempurna. Maka dari itu sebagai manusia yang bersyukur kita wajib menggunakan pemberian itu dengan sebaik-baiknya dengan cara merawat serta mengembangkan potensinya semaksimal mungkin pada kenyataannya masih banyak manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik maupun mental, salah satunya penyandang tunadaksa disekitar kita. Tunadaksa (cacat tubuh) adalah salah satu bentuk keterbatasan manusia yang  terjadi pada fisiknya, seperti pada sistem otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit dari kecelakaan, bawaan sejak lahir atau kerusakan di otak. Kelainan atau kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki dampak langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) baik terhadap diri anak yang memiliki kecacatan itu sendiri maupun terhadap keluarga dan masyarakat. Karena itu masalah tersebut perlu memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya penyandang tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, kebutuhan untuk memperoleh pelayanan medis guna mengurangi permasalahan yang dialami anak di bidang medis. Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi sebagai dampak dari adanya kecacatan tunadaksa dan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan khusus.
Dewasa ini masyarakat pada umumnya memiliki anggapan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang tidak memiliki kemampuan apapun. Salah satu anak berkebutuhan khusus yang tidak dikenal oleh masyarakat umum adalah tunagrahita. Tunagrahita merupakan sebuah istilah bagi mereka yang mengalami gangguan mental ataupun keterbelakangan mental khususnya dalam hal kecerdasan dan kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Tidak sedikit yang menganggap anak tunagrahita adalah “anak buangan”, “cacat mental”, “mental subnormal”, “bodoh”, dan “idiot”.  Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah anak “keterbelakangan mental”. Pada kenyataannya istilah itu adalah sebutan untuk anak tunagrahita.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan tunagrahita ?
2.      Bagaimanakah karakteristik anak tunagrahita ?
3.      Apa saja tipe yang terdapat pada anak tunagrahita ?
4.      Apa pengertian dari anak tunadaksa?
5.      Bagaimana klasifikasi anak tunadaksa?
6.      Apa saja karakteristik dari anak tunadaksa?


C.    Tujuan
1.       Untuk mengetahui pengertian mengenai tunagrahita.
2.       Untuk mengetahui karakteristik pada anak tunagrahita.
3.       Untuk mengetahui tipe - tipe anak  tunagrahita.
4.       Untuk mengetahui faktor penyebab anak tunagrahita.
5.       Untuk mengetahui cara pendampingan yang dapat dilakukan terhadap anak tunagrahita.
6.       Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PAI bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
7.       Untuk mengetahui arti dari anak tunadaksa.
8.       Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi anak tunadaksa.
9.       Untuk mengetahui karakteristik yang dimiliki dari anak tunadaksa.
10.   Untuk mengetahui cara yang tepat dalam merehabilitasi anak tunadaksa.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tunagrahita
1.      Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita merupakan salah satu bentuk gangguan pada anak dan remaja yang dapat ditemui di berbagai tempat, yaitu suatu keadaan di mana anak mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan ditunjukkan oleh kurang cakupnya mereka dalam memikirkan hal-hal yang bersifat akademik, abstrak, cenderung sulit dan berbelit-belit hampir pada segala aspek kehidupan serta mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri (Amin, M, 1955). Anak tunagrahita (retardasi mental) sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus saat meniti tugas perkembangan di dalam hidupnya.
2.      Karakteristik Tunagrahita
a.    Karakteristik tunagrahita ringan (Mumpuniarti, 2000)
1)   Karakteristik kognitif
-       Mempunyai IQ berkisar 50-70.
-       Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, maka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.
-       Kemampuan berpikir rendah, lambat perhatian dan ingatannya rendah.
-       Masih mampu untuk menulis, membaca, menghitung.
-       Mengalami kesulitan dalam konsentrasi, sukar untuk diajak fokus.
-       Umur kecerdasannya apabila sudah dewasa sama dengan anak normal yang berusia 12 tahun.
2)   Karakteristik fisik
-       Anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
3)   Karakteristik sosial/perilaku
-       Anak tunagrahita ringan mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.
4)   Karakteristik emosi
-       Anak tunagrahita ringan sukar berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis, asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik buruk.
-       Tidak mampu mendeteksi kesalahan pada dirinya, sehingga acuh tak acuh.
5)   Karakteristik motorik
-       Anak tunagrahita ringan mengalami kelambatan dalam kemampuan sensorimotorik.
-       Dalam berbicaranya banyak yang lancar, tetapi perbendaharan kata masih minim.
b.    Karakteristik tunagrahita sedang (Mumpuniarti, 2000)
1)   Karakteristik kognitif
-       Mempunyai IQ berkisar 30-50.
-       Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan berhitung tetapi dapat dilatih dalam hal yang sederhana sekedar diperkenalkan membaca dan menulis namanya sendiri dan mengenal angka.
-       Rendahnya perhatian anak dalam belajar akan menghambat daya ingat. Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, cepat beralih.
-       Kurang tangguh dalam menghadapi tugas, pelupa dan sukar mengungkapkan ingatan dan mudah bosan.
-       Mudah beralih perhatiannya ke hal yang dianggapnya lebih menarik dan keterbatasannya dalam kemampuan intelektualnya sehingga kemampuan dalam bidang akademik sangat bersifat sederhana.
-       Pada umur dewasa anak tunagrahita baru mencapai kecerdasan setaraf anak normal umur 7 tahun atau 8 tahun.
2)   Karakteristik fisik
-       Penampilannya menunjukkan sebagai anak terbelakang, lebih menampakkan kecacatannya.
3)   Karakteristik sosial/ perilaku
-       Banyak diantara anak tunagrahita sedang yang sikap sosialnya kurang baik, rasa etisnya kurang dan nampak tidak mempunyai rasa terima kasih, rasa belas kasihan dan rasa keadilan.
-       Masih mampu untuk mengurus, memimpin, memelihara dirinya sendiri dan bersosialisasi dengan lingkungannya, walaupun butuh proses yang lama. Contohnya mandi, makan, minum, berpakaian.
-       Sangat tergantung pada orang lain.
-       Bersikap kekanak-kanakan, sering melamun atau hiperaktif
-       Mampu melindungi diri dari bahaya dan dapat bekerja ringan tetapi tetap dalam pengawasan karena tanpa pengawasan akan bekerja secara asal.
4)   Karakteristik emosi
-       Dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaannya.
-       Kehidupan emosinya sangat lemah, mereka jarang sekali menghayati perasaan tanggung jawab dan hak sosialnya.
-       Memiliki imajinasi yang tinggi.
5)   Karakteristik motorik
-       Kurang mampu untuk mengkoordinasikan gerak tubuhnya.
-       Tangan-tangannya kaku.

c.    Karakteristik tunagrahita berat
Anak tunagrahita berat memiliki IQ di bawah 30. Anak ini sepanjang hidupnya memerlukan pertolongan dan bantuan orang lain, sehingga berpakaian, ke WC, dan sebagainya harus dibantu. Mereka tidak tahu bahaya atau tidak bahaya. Kata-kata dan ucapannya sangat sederhana. Kecerdasannya sampai setinggi anak normal yang berusia tiga tahun.
3.      Tipe Tunagrahita
Tunagrahita dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok :
a.       Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan (IQ 50-70)
Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan merupakan anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik adalah :
1)      Membaca, menulis, mengeja dan berhitung
2)      Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain
3)      Keterampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Kesimpulan : anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.
b.      Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang (imbecil, IQ 30-50)
Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang merupakan anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik.
Kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan yaitu :
1)     Belajar mengurus diri sendiri (makan, pakaian, tidur, mandi sendiri)
2)     Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah atau sekitarnya
3)     Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja (sheltered workshop) dan dilembaga khusus
Kesimpulan : anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
c.       Anak tunagrahita mampu rawat (idiot, IQ <30)
Anak tunagrahita mampu rawat merupakan anak tunagrahitta yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri  atau sosialisasi. Selain itu anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.


4.      Faktor Penyebab Tunagrahita
Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah berusaha membaginya menjadi beberapa kelompok. Ada yang membaginya menjadi dua gugus, yaitu indogen dan eksogen. Ada juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya penyebab, disusun secara kronologis sebagai berikut faktor-faktor yang terjadi sebelum anak lahir (prenatal), faktor-faktor yang terjadi ketika anak lahir (natal), dan faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan (pos natal).
a.     Penyebab terjadinya anak tunagrahita menurut Kirk (1970)
1)      Faktor endogen (faktor yang dibawa sejak lahir) yaitu faktor ketidaksempurnaan psikoniologis dalam memindahkan gen.
2)      Faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patalogis dari perkembangan normal seperti mengalami penyakit atau keadaan lainnya.
b.    Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenportb dapat dirinci melalui jenjang :
1)        Kelainan atau keturunan yang timbul pada benih plasma.
2)        Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur.
3)        Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi.
4)        Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan yang timbul dalam embrio.
5)        Kelainan atau keturunan yang timbul dari luka saat kelahiran.
6)        Kelainan atau keturunan yang timbul dalam janin.
7)        Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
c.     Menurut penyelidikan para ahli (tunagrahita) dapat terjadi :
1)      Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya seperti : campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
2)      Natal (waktu lahir)
Proses melahirkan yang sudah terlalu lama dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil dapat menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
3)      Pos Natal (sesudah lahir)
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis) dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).
5.      Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun klasikal
a.       Rekomendasi untuk Sekolah
Berperan aktif dalam meningkatkan kualifikasi guru untuk menangani anak berkebutuhan khusus dan memfasilitasi layanan pendidikan khusus.
b.      Rekomendasi untuk Guru
1)      Guru di sekolah inklusif diharapkan lebih sedikit banyaknya memahami konsep anak berkebutuhan khusus dan dapat membekali diri melalui pelatihan-pelatihan mengenai pendidikan inklusi dan konsep ABK, dengan memahami hal tersebut diharapkan mempermudah guru untuk memberikan pelayanan terhadap ABK sesuai dengan kebutuhan dan hambatannya, khususnya siswa dengan tunagrahita.
2)      Sebagai bahan evaluasi untuk guru khususnya, guru di sekolah inklusi agar termotivasi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan yang baik dan sesuai bagi ABK, khususnya anak tunagrahita yang ada di sekolah-sekolah inklusi.
c.       Rekomendasi untuk Orang Tua
1)      Orang tua ABK bersikap respontif terhadap pendidikan dan perkembangan anak agar terciptanya perubahan dalam diri anak melalui program-program sekoalh inklusi.
2)      Adanya wadah/forum bagi perkumpulan orang tua ABK di sekolah inklusi untuk berkerja sama dalam upaya mendidik anaknya dan mengevaluasi kinerja guru mengenai pelayanan anak tunagrahita di sekolah.

B.     Tunadaksa
1.      Pengertian Anak Tunadaksa
Tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dari berbagai pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah seseorang yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya secara normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi, bersosialisasi, dan berkembang bagi dirinya.
2.      Klasifikasi Tunadaksa
Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.    Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:
-       Club-foot (kaki seperti tongkat).
-       Club-hand (tangan seperti tongkat).
-       Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki).
-       Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya).
-       Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
-       Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
-       Cretinism (kerdil/katai).
-       Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
-       Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan).
-       Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).
-       Herelip (gangguan padabibir dan mulut).
-       Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).
-       Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu).
-       Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).
-       Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar).
-       Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).
b.    Kerusakan pada waktu kelahiran:
-       Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran).
-         Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
c.    Infeksi:
-       Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).
-       Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri).
-       Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).
-       Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang).
-       Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang).
-       Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain.
d.   Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:
-       Amputasi (anggota tubuh dibuangakibat kecelakaan).
-       Kecelakaan akibat luka bakar.
-       Patah tulang.
e.    Tumor:
-       Oxostosis (tumor tulang).
-       Osteosisfibrosa cystica (kista atau kentang yang berisi cairan di dalam tulang).
3.      Karakteristik Anak Tunadaksa
a.      Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.
b.      Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa
Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa dalam Efendi (2006:124)  ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu:
1)      Kematangan, kematangan merupakan perkembangan susunan saraf misalnya mendengar yang diakibatkan kematangan susunan sarat tersebut.
2)      Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organism dengan lingkungan dan dunianya.
3)      Transmisi sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial.
4)      Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak.
Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan, dapat dilakukan melalui dua proses yang saling memengaruhi. Proses tersebut yakni asimilasi (integritas elemen-elemen dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organism) dan akomodasi (proses dimana terjadi perubahan pada subjek agar bisa menyesuaikan terhadap objek yang ada di luar dirinya).
c.       Perkembangan Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa 
Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan, atau kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan perhatian yang lama terhadap sesuatu,  merasa terasing dari keluarga dan temannya.
d.      Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa
Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya.
e.       Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa
Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa. Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tunadaksa.
f.       Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa
Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain:
1)      Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi.
2)      Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over protective.
3)      Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah presepsi sosial yang dapat menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh tunadaksa.
4.      Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
a.         Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas, pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.
1)   Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan bentuk atau gerak.
2)   Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
3)   Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
4)   Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan. Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
5)   Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
-       Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
-       Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.
-       Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:
-       Menguatkan dan mengembalikan fungsi.
-       Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk.
-       Pembatasan gerak.
-       Perbaikan salah bentuk.
b.         Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
1)   Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.
2)   Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
3)   Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
4)   Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
5)   Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog, ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
6)   Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
7)   Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
8)   Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa menempati jabatan pekerjaan.
c.         Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:
1)   Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.
2)   Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
3)   Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau kelainannya.







BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang sudah dibuat oleh kelompok kami, dapat disimpulkan bahwa anak tuna grahita adalah anak yang mempunyai tingkat intelegensi rendah di bawah rata-rata yaitu berkisar antara 30-70 dan terbagi menjadi 3 tipe yaitu tipe tuna grahita ringan (50-70), tuna grahita sedang (30-50), dan tuna grahita berat (<30).  Oleh sebab itu, kemampuan berpikir mereka sangat lambat dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Setiap tipe memiliki karakteristik masing-masing yang dapat dilihat dari aspek kognitif, fisik, sosial/perilaku, emosi, dan motorik. Faktor penyebabnya dapat berasal dari keturunan dan gangguan pada saat sebelum kelahiran, proses kelahiran, dan sesudah kelahiran. Pendampingannya dapat dilakukan oleh pihak sekolah, guru, dan orangtua. Pelatihan untuk anak tuna grahita dapat dilakukan dengan berbagai terapi.
Tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dari berbagai pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah seseorang yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya secara normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi, bersosialisasi, dan berkembang bagi dirinya.

No comments:

Post a Comment