BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna. Di antara makhluk
lainnya manusialah yang memiliki bentuk dan struktur yang paling sempurna. Maka
dari itu sebagai manusia yang bersyukur kita wajib menggunakan pemberian itu
dengan sebaik-baiknya dengan cara merawat serta mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin pada kenyataannya masih banyak manusia yang memiliki
keterbatasan dalam hal fisik maupun mental, salah satunya penyandang tunadaksa
disekitar kita. Tunadaksa (cacat tubuh) adalah salah satu bentuk keterbatasan
manusia yang terjadi pada fisiknya,
seperti pada sistem otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit
dari kecelakaan, bawaan sejak lahir atau kerusakan di otak. Kelainan atau
kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki dampak langsung (primer) dan
tidak langsung (sekunder) baik terhadap diri anak yang memiliki kecacatan itu
sendiri maupun terhadap keluarga dan masyarakat. Karena itu masalah tersebut
perlu memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya penyandang
tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, kebutuhan untuk memperoleh
pelayanan medis guna mengurangi permasalahan yang dialami anak di bidang medis.
Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi
gangguan fungsi sebagai dampak dari adanya kecacatan tunadaksa dan kebutuhan
untuk memperoleh pendidikan khusus.
Dewasa
ini masyarakat pada umumnya memiliki anggapan bahwa anak berkebutuhan khusus
merupakan anak-anak yang tidak memiliki kemampuan apapun. Salah satu anak
berkebutuhan khusus yang tidak dikenal oleh masyarakat umum adalah tunagrahita.
Tunagrahita merupakan sebuah istilah bagi mereka yang mengalami gangguan mental
ataupun keterbelakangan mental khususnya dalam hal kecerdasan dan kemampuan dalam
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Tidak sedikit yang menganggap anak
tunagrahita adalah “anak buangan”, “cacat mental”, “mental subnormal”, “bodoh”, dan “idiot”. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
mendengar istilah anak “keterbelakangan mental”. Pada kenyataannya istilah itu
adalah sebutan untuk anak tunagrahita.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan tunagrahita
?
2.
Bagaimanakah karakteristik anak
tunagrahita ?
3.
Apa saja tipe yang terdapat pada anak
tunagrahita ?
4.
Apa pengertian dari anak tunadaksa?
5.
Bagaimana klasifikasi anak tunadaksa?
6.
Apa saja karakteristik dari anak
tunadaksa?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian mengenai
tunagrahita.
2.
Untuk mengetahui karakteristik pada anak
tunagrahita.
3.
Untuk mengetahui tipe - tipe anak tunagrahita.
4.
Untuk mengetahui faktor penyebab anak
tunagrahita.
5.
Untuk mengetahui cara pendampingan yang
dapat dilakukan terhadap anak tunagrahita.
6.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah PAI bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
7.
Untuk mengetahui arti dari anak
tunadaksa.
8.
Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi
anak tunadaksa.
9.
Untuk mengetahui karakteristik yang
dimiliki dari anak tunadaksa.
10.
Untuk mengetahui cara yang tepat dalam
merehabilitasi anak tunadaksa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tunagrahita
1. Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita
merupakan salah satu bentuk gangguan pada anak dan remaja yang dapat ditemui di
berbagai tempat, yaitu suatu keadaan di mana anak mengalami keterbelakangan
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan ditunjukkan oleh kurang
cakupnya mereka dalam memikirkan hal-hal yang bersifat akademik, abstrak,
cenderung sulit dan berbelit-belit hampir pada segala aspek kehidupan serta
mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri (Amin, M, 1955).
Anak tunagrahita (retardasi mental)
sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus saat meniti
tugas perkembangan di dalam hidupnya.
2. Karakteristik Tunagrahita
a.
Karakteristik tunagrahita ringan
(Mumpuniarti, 2000)
1)
Karakteristik kognitif
-
Mempunyai IQ berkisar 50-70.
-
Kapasitas belajarnya sangat terbatas
terutama untuk hal-hal yang abstrak, maka lebih banyak belajar dengan cara
membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.
-
Kemampuan berpikir rendah, lambat
perhatian dan ingatannya rendah.
-
Masih mampu untuk menulis, membaca,
menghitung.
-
Mengalami kesulitan dalam konsentrasi,
sukar untuk diajak fokus.
-
Umur kecerdasannya apabila sudah dewasa
sama dengan anak normal yang berusia 12 tahun.
2)
Karakteristik fisik
-
Anak tunagrahita ringan nampak seperti
anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
3)
Karakteristik sosial/perilaku
-
Anak tunagrahita ringan mampu bergaul,
menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada
yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana
dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.
4)
Karakteristik emosi
-
Anak tunagrahita ringan sukar berpikir
abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis, asosiasi lemah, fantasi
lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian
kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik buruk.
-
Tidak mampu mendeteksi kesalahan pada
dirinya, sehingga acuh tak acuh.
5)
Karakteristik motorik
-
Anak tunagrahita ringan mengalami
kelambatan dalam kemampuan sensorimotorik.
-
Dalam berbicaranya banyak yang lancar, tetapi perbendaharan kata masih minim.
b.
Karakteristik tunagrahita sedang
(Mumpuniarti, 2000)
1)
Karakteristik kognitif
-
Mempunyai IQ berkisar 30-50.
-
Anak tunagrahita sedang sangat sulit
bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan
berhitung tetapi dapat dilatih dalam hal yang sederhana sekedar diperkenalkan
membaca dan menulis namanya sendiri dan mengenal angka.
-
Rendahnya perhatian anak dalam belajar
akan menghambat daya ingat. Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan
perhatian, cepat beralih.
-
Kurang tangguh dalam menghadapi tugas,
pelupa dan sukar mengungkapkan ingatan dan mudah bosan.
-
Mudah beralih perhatiannya ke hal yang
dianggapnya lebih menarik dan keterbatasannya dalam kemampuan intelektualnya
sehingga kemampuan dalam bidang akademik sangat bersifat sederhana.
-
Pada umur dewasa anak tunagrahita baru
mencapai kecerdasan setaraf anak normal umur 7 tahun atau 8 tahun.
2)
Karakteristik fisik
-
Penampilannya menunjukkan sebagai anak
terbelakang, lebih menampakkan kecacatannya.
3)
Karakteristik sosial/ perilaku
-
Banyak diantara anak tunagrahita sedang
yang sikap sosialnya kurang baik, rasa etisnya kurang dan nampak tidak
mempunyai rasa terima kasih, rasa belas kasihan dan rasa keadilan.
-
Masih mampu untuk mengurus, memimpin,
memelihara dirinya sendiri dan bersosialisasi dengan lingkungannya, walaupun
butuh proses yang lama. Contohnya mandi, makan, minum, berpakaian.
-
Sangat tergantung pada orang lain.
-
Bersikap kekanak-kanakan, sering melamun
atau hiperaktif
-
Mampu melindungi diri dari bahaya dan
dapat bekerja ringan tetapi tetap dalam pengawasan karena tanpa pengawasan akan
bekerja secara asal.
4)
Karakteristik emosi
-
Dorongan emosi anak tunagrahita
berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaannya.
-
Kehidupan emosinya sangat lemah, mereka
jarang sekali menghayati perasaan tanggung jawab dan hak sosialnya.
-
Memiliki imajinasi yang tinggi.
5)
Karakteristik motorik
-
Kurang mampu untuk mengkoordinasikan
gerak tubuhnya.
-
Tangan-tangannya kaku.
c.
Karakteristik tunagrahita berat
Anak tunagrahita berat memiliki IQ
di bawah 30. Anak ini sepanjang hidupnya memerlukan pertolongan dan bantuan
orang lain, sehingga berpakaian, ke WC, dan sebagainya harus dibantu. Mereka
tidak tahu bahaya atau tidak bahaya. Kata-kata dan ucapannya sangat sederhana.
Kecerdasannya sampai setinggi anak normal yang berusia tiga tahun.
3. Tipe Tunagrahita
Tunagrahita dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga kelompok :
a.
Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita
ringan (IQ 50-70)
Anak tunagrahita
mampu didik/tunagrahita ringan merupakan anak tunagrahita yang tidak mampu
mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Kemampuan yang
dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik adalah :
1)
Membaca, menulis, mengeja dan berhitung
2)
Menyesuaikan diri dan tidak
menggantungkan diri pada orang lain
3)
Keterampilan sederhana untuk kepentingan
kerja dikemudian hari.
Kesimpulan : anak tunagrahita mampu
didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam
bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.
b.
Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita
sedang (imbecil, IQ 30-50)
Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita
sedang merupakan anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya
sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak
tunagrahita mampu didik.
Kemampuan anak
tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan yaitu :
1)
Belajar mengurus diri sendiri (makan,
pakaian, tidur, mandi sendiri)
2)
Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah
atau sekitarnya
3)
Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah,
dibengkel kerja (sheltered workshop) dan dilembaga khusus
Kesimpulan : anak tunagrahita mampu
latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri
melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta
melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
c.
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot, IQ
<30)
Anak tunagrahita
mampu rawat merupakan anak tunagrahitta yang memiliki kecerdasan sangat rendah
sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri
atau sosialisasi. Selain itu anak tunagrahita mampu rawat adalah anak
tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia
tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.
4. Faktor Penyebab Tunagrahita
Mengenai faktor
penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah berusaha membaginya menjadi beberapa
kelompok. Ada yang membaginya menjadi dua gugus, yaitu indogen dan eksogen. Ada
juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya penyebab, disusun secara
kronologis sebagai berikut faktor-faktor yang terjadi sebelum anak lahir
(prenatal), faktor-faktor yang terjadi ketika anak lahir (natal), dan
faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan (pos natal).
a.
Penyebab terjadinya anak tunagrahita
menurut Kirk (1970)
1)
Faktor endogen (faktor yang dibawa sejak
lahir) yaitu faktor ketidaksempurnaan psikoniologis dalam memindahkan gen.
2)
Faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi
akibat perubahan patalogis dari perkembangan normal seperti mengalami penyakit
atau keadaan lainnya.
b.
Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan,
penyebab ketunagrahitaan menurut Devenportb dapat dirinci melalui jenjang :
1)
Kelainan atau keturunan yang timbul pada
benih plasma.
2)
Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan
selama penyuburan telur.
3)
Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan
dengan implantasi.
4)
Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan
yang timbul dalam embrio.
5)
Kelainan atau keturunan yang timbul dari
luka saat kelahiran.
6)
Kelainan atau keturunan yang timbul
dalam janin.
7)
Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa
bayi dan masa kanak-kanak.
c.
Menurut penyelidikan para ahli
(tunagrahita) dapat terjadi :
1)
Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu terjadi
pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya seperti : campak,
diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai
obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
2)
Natal (waktu lahir)
Proses
melahirkan yang sudah terlalu lama dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada
bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil dapat menyebabkan otak
terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses melahirkan
yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
3)
Pos Natal (sesudah lahir)
Pertumbuhan bayi
yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang disertai
kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis) dapat menyebabkan
seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).
5. Pendampingan Tunagrahita secara
individual maupun klasikal
a.
Rekomendasi untuk Sekolah
Berperan aktif
dalam meningkatkan kualifikasi guru untuk menangani anak berkebutuhan khusus
dan memfasilitasi layanan pendidikan khusus.
b.
Rekomendasi untuk Guru
1)
Guru di sekolah inklusif diharapkan
lebih sedikit banyaknya memahami konsep anak berkebutuhan khusus dan dapat
membekali diri melalui pelatihan-pelatihan mengenai pendidikan inklusi dan
konsep ABK, dengan memahami hal tersebut diharapkan mempermudah guru untuk
memberikan pelayanan terhadap ABK sesuai dengan kebutuhan dan hambatannya,
khususnya siswa dengan tunagrahita.
2)
Sebagai bahan evaluasi untuk guru
khususnya, guru di sekolah inklusi agar termotivasi untuk meningkatkan
pelayanan pendidikan yang baik dan sesuai bagi ABK, khususnya anak tunagrahita
yang ada di sekolah-sekolah inklusi.
c.
Rekomendasi untuk Orang Tua
1)
Orang tua ABK bersikap respontif
terhadap pendidikan dan perkembangan anak agar terciptanya perubahan dalam diri
anak melalui program-program sekoalh inklusi.
2)
Adanya wadah/forum bagi perkumpulan
orang tua ABK di sekolah inklusi untuk berkerja sama dalam upaya mendidik
anaknya dan mengevaluasi kinerja guru mengenai pelayanan anak tunagrahita di
sekolah.
B.
Tunadaksa
1. Pengertian
Anak Tunadaksa
Tunadaksa
merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk
atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi
ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh
pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga
diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai
akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi
kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dari berbagai
pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah seseorang
yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya secara normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi,
bersosialisasi, dan berkembang bagi dirinya.
2. Klasifikasi
Tunadaksa
Menurut Frances
G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau
kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:
-
Club-foot (kaki
seperti tongkat).
-
Club-hand
(tangan seperti tongkat).
-
Polydactylism
(jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki).
-
Syndactylism
(jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya).
-
Torticolis
(gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
-
Spina-bifida (sebagian
dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
-
Cretinism (kerdil/katai).
-
Mycrocephalus
(kepala yang kecil, tidak normal).
-
Hydrocepalus
(kepala yang besar karena berisi cairan).
-
Clefpalats
(langit-langit mulut yang berlubang).
-
Herelip (gangguan
padabibir dan mulut).
-
Congenital hip dislocation (kelumpuhan
pada bagian paha).
-
Congenital amputation (bayi
yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu).
-
Fredresich ataxia
(gangguan pada sumsum tulang belakang).
-
Coxa valga (gangguan
pada sendi paha, terlalu besar).
-
Syphilis
(kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).
b.
Kerusakan pada waktu kelahiran:
-
Erb’s palsy (kerusakan
pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran).
-
Fragilitas osium (tulang
yang rapuh dan mudah patah).
c.
Infeksi:
-
Tuberkulosis
tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).
-
Osteomyelitis (radang
di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri).
-
Poliomyelitis
(infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).
-
Pott’s disease
(tuberkulosis sumsum tulang belakang).
-
Still’s disease (radang
pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang).
-
Tuberkulosis
pada lutut atau pada sendi lain.
d.
Kondisi traumatik atau kerusakan
traumatik:
- Amputasi (anggota tubuh dibuangakibat kecelakaan).
- Kecelakaan akibat luka bakar.
- Patah tulang.
e.
Tumor:
-
Oxostosis (tumor
tulang).
-
Osteosisfibrosa cystica (kista
atau kentang yang berisi cairan di dalam tulang).
3. Karakteristik Anak Tunadaksa
a. Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh
individu. Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh
yang tidak sempurna. Potensi itu tidak utuh karena ada bagian Secara umum
perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak
normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian
tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.
b. Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa
Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa dalam Efendi
(2006:124) ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu:
1)
Kematangan,
kematangan merupakan perkembangan susunan saraf misalnya mendengar yang
diakibatkan kematangan susunan sarat tersebut.
2)
Pengalaman,
yaitu hubungan timbal balik antara organism dengan lingkungan dan dunianya.
3)
Transmisi
sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan
sosial.
4)
Ekuilibrasi,
yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak.
Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap
lingkungan, dapat dilakukan melalui dua proses yang saling memengaruhi. Proses
tersebut yakni asimilasi (integritas elemen-elemen dari luar terhadap struktur
yang sudah lengkap pada organism) dan akomodasi (proses dimana terjadi
perubahan pada subjek agar bisa menyesuaikan terhadap objek yang ada di luar
dirinya).
c. Perkembangan Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa
Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan
berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan
dengan kesiapan dan kematangan sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis
polio, perkembangan bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya
dengan anak cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy
disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya akibat
kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada anak cerebral
palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka
mengalami problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan
pikiran, keinginan, atau kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah
tersinggung, tidak memberikan perhatian yang lama terhadap sesuatu,
merasa terasing dari keluarga dan temannya.
d. Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa
Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak
normal yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi
perkembangan emosi anak tersebut. Anak tunadaksa sejak kecil mengalami
perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang
mengalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal yang
mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai
orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran
dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan
orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering
memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi, misalnya dengan
memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara berlebihan. Di samping itu ada
juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan
sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak
dikenalnya.
e. Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa
Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan
resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian
diri pada anak tunadaksa. Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan
kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak
atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam
penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat
berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak
tunadaksa.
f. Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa
Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak
tunadaksa, antara lain:
1)
Terhambatnya
aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi.
2)
Timbulnya
kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat terhadap
perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over
protective.
3)
Perlakuan orang
sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak merasa bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain.
Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat
ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah,
kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya.
Faktor dominan yang memengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah
lingkungan. Atas dasar itulah presepsi sosial yang dapat menjatuhkan perasaan
anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini
disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh tunadaksa.
4. Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada
penyandang kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan
untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain.
Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi
anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis
akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti
tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita
tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi
bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
a.
Rehabilitasi
Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara
lain operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational
therapy atau terapi tugas, pemberian pemberian protease, pemberian
alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.
1)
Operasi ortopedi
dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak dengan
mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan
bentuk atau gerak.
2)
Fisioterapi
adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot
atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan,
latihan keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan
metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy),
penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric
therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui
pemijatan (massage).
3)
Activities
daily living adalah latihan
berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk melatih penderita agar mampu
melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan fisiknya.
Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di
lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan
sosialnya.
4)
Occupational
therapy adalah bentuk usaha atau
aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa
agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas
atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan terapi
tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam,
merajut, untuk melatih kemampuan tangan. Pemberian protease adalah pemberian
perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau
cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya.
Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat
fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik
(sebagai pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
5)
Perangkat
ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh
yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint.
Dilihat dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
-
Perangkat yang
berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
-
Perangkat yang
berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.
-
Perangkat yang
berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari
alat tersebut antara lain:
-
Menguatkan dan
mengembalikan fungsi.
-
Mencegah agar
tidak menimbulkan salah bentuk.
-
Pembatasan
gerak.
-
Perbaikan salah
bentuk.
b.
Rehabilitasi
Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan
fungsi tubuh bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode
atau pendekatan yang lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
1)
Counseling,
adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan
keberanian atau kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb
ada kalanya mereka tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan,
untuk bangkit kembali.
2)
Revalidasi,
merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan
sosial anak tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
3)
Vocasional
guide, adalah pemberian bimbingan
kepada penderita tunadaksa dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan
kondisinya.
4)
Vocasional
assessment, merupakan
penialian terhadap kemampuan penyandang kelainan melalui sebuah bengkel kerja
dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
5)
Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung
dalam tim rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial,
konselor, psikolog, ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
6)
Vocasional
training, adalah pemberian kesempatan
latihan kerja agar penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna
bagi masyarakat di sekitarnya.
7)
Selective
placement, adalah
penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan setelah selesai menjalani
pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
8)
Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah
penyandang tunadaksa menempati jabatan pekerjaan.
c.
Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan
mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya
dengan program rehabilitasi yang lain dilakukan secara bersamaan dan
terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program rehabilitasi
psikososial ini secara khusus yaitu:
1)
Meminimalkan
dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti rendah
diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.
2)
Meningkatkan
kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih kehidupan
dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab diri
sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
3)
Mempersiapkan
mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga dapat
berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau
kelainannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan makalah
yang sudah dibuat oleh kelompok kami, dapat disimpulkan bahwa anak tuna grahita
adalah anak yang mempunyai tingkat intelegensi rendah di bawah rata-rata yaitu
berkisar antara 30-70 dan terbagi menjadi 3 tipe yaitu tipe tuna grahita ringan
(50-70), tuna grahita sedang (30-50), dan tuna grahita berat (<30). Oleh sebab itu, kemampuan berpikir mereka
sangat lambat dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Setiap tipe
memiliki karakteristik masing-masing yang dapat dilihat dari aspek kognitif,
fisik, sosial/perilaku, emosi, dan motorik. Faktor penyebabnya dapat berasal
dari keturunan dan gangguan pada saat sebelum kelahiran, proses kelahiran, dan
sesudah kelahiran. Pendampingannya dapat dilakukan oleh pihak sekolah, guru,
dan orangtua. Pelatihan untuk anak tuna grahita dapat dilakukan dengan berbagai
terapi.
Tunadaksa merupakan
suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan
pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak
lahir (White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga diartikan sebagai
suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu
untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dari berbagai
pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah seseorang
yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya secara normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi,
bersosialisasi, dan berkembang bagi dirinya.
No comments:
Post a Comment