Tuesday, November 28, 2017

Cerita Aku



AKU
Karya Nadia Pasha

Lemah, itu yang saat ini aku rasakan. Kosong, sebuah kata yang tepat untuk duniaku. Gelap, entah bagaimana ku uraikan maknanya, karena tidak satupun cahaya kecil yang aku lihat. Aku tidak tahu aku berada di alam mana. Aku hanya mendengar sebuah ketukan, ketukan yang berulang. Tidak, sepertinya bukan ketukan, suara itu terdengar nyaring. Ya … aku dapat mendengarnya dengan jelas. Terkadang, aku mendengar percakapan seseorang, aku mendengar tangisan,bahkan aku mendengar seseorang yang seolah-olah berbicara kepadaku. Aku mendengar orang mengaji, merduu sekali. Seakan ketenangan muncul secara tiba-tiba.
Suatu ketika, keajaiban datang kepadaku. Kulitku dapat merasakan sesuatu, aku benar-benar merasakannya. Aku merasakan bahwa aku telah menyentuh suatu permukaan, entah apapun itu. Tanganku … tanganku dengan perlahan bergerak, bergerak keatas walau dengan perasaan yang lemah, tapi aku merasakan pergerakannya. Sekilas, cahaya putih aku lihat dengan mataku, cahaya yang amat sangat kecil yang kemudian cahaya itu seolah mendekatiku, membesar terus membesar.
Seketika itu, aku melihat cahaya lain, cahaya yang berwarna. Jantungku berdetak dengan  begitu cepat. Saat itu juga, mataku terbuka lebar. Aku melihatnya, aku melihat orang-orang yang pada saat itu mengelilingiku, yang ternyata itu keluargaku sendiri. Ya, tante Mirna dan om Bobby serta sepupuku Arka. Aku ingat semuanya.
Dengan spontan, mereka memanggil dokter, “ dok .. dokteeerrr.’’ Begitulah ucapnya yang begitu keras. Tak lama kemudian, dokter datang dan memeriksaku dengan alat, ya… dengan stetoskop. Dokter memeriksa seluruh anggota badanku. Tangis kebahagiaan dapat aku lihat pada wajah keluargaku, tangis penuh harapan. “Gimana dok? Gimana keadaannya?” ucap om Bobby. Sembari memeriksa, dokter mengatakan bahwa keadaanku jauh lebih baik, hanya perlu istirahat yang lebih lama.
Aku tidak mengerti apa yang coba mereka jelaskan. Bahkan, aku tidak mengerti mengapa aku berada di tempat ini. Tempat dimana terdapat tabung besar dengan ventilator yang saat ini aku pakai. Tempat dimana masih ada alat-alat besar lainnya. Sedikit demi sedikit, aku mencoba mengingat semuanya, walau itu sakit aku harus tetap coba mengingatnya. Aku hiraukan pembicaraan keluarga kepadaku. Ya … aku mulai ingat, aku mengingatnya. Disitu aku menangis, inginku menangis sekeras mungkin, namun apa daya diriku amatlah lemah. Air mata menetes dimataku, aku benar-benar tak kuasa, karena aku mengingat semuanya. Ibu … benar … ibu … .
Aku ingat, waktu itu aku benar-benar merasakan kebahagiaan. Aku melihat senyum sumringah ibu yang bermain denganku. Ibuku sangatlah menyayangiku. Aku adalah anak satu-satunya. Dan ayahku … aku tidak tahu, aku tidak tahu wajahnya, aku tidak tahu warna kulinya, bahkan aku tidak tahu namanya. Sempat aku menanyakan “dimana ayahku bu ?” ibu menjawabnya dengan ringan “ayahmu sudah berada di alam yang jauh lebih indah.” Sejenak aku mengerti perkataan ibu, aku mengerti bahwa ayahku telah tiada. Sejak saat itu, aku tidak menanyakannya lagi, aku tidak ingin membuat ibuku sedih. Sejak itu pula, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menjaga ibu dengan segenap jiwaku. Hari-hariku aku jalani bersamanya. Aku sangat bahagia. Mungkin aku mempunyai berkali-kali lipat rasa saying anak pada ibunya.
Suatu ketika, aku pergi ke pasar bersama ibu untuk membeli sayur-sayuran. Terlihat, pameran buku sedang diadakan. “bu, aku mau liat pameran buku itu”, ucapku pada ibu. Akhirnya aku melihatnya sembari ibu berbelanja tak lama kemudian ibu datang kepada ku lalu menarikku dengan wajah pucat dan nafas yang terengah-engah. “ Bu… Ada apa bu? Ibu… “ ibu terus menarikku dengan keras “lari nak… lari…” ucapnya yang begitu keras. Sesampainya di rumah ibu duduk masih dengan nafas yang terengah-engah “Sebenarnya apa yang terjadi? Jawab bu… ibu kenapa? Apa ibu mencuri? “Preeetttt tamparan keras aku terima dari tangan ibu. Tanpa kata, ibu masuk ke kamar. Aku sungguh menyesali apa yang aku ucapkan. Aku mengetuk pintu, mengetuknya berulang – ulang tidak juga dibukakan pintu oleh ibu. Aku menunggunya, beberapa jam kemudian ibu membukakan pintu serentak ucapku padanya “bu… maafkan aku, aku menyesal bu aku sungguh menyesal” Ibu memelukku dengan begitu erat. “ngga papa sayang, tapi kamu harus janji kamu ngga boleh ngomong apapun yang menyakiti hati seseorang”.
Terkadang aku bingung akan sikap ibu. Kadang aku tidak mengerti apa yang ada dipikirannya setiap malam ibu selalu melamun, entah apa yang dilamunkannya aku tidak berani menanyakan itu. Beberapa hari kemudian kejadian yang sama terulang kembali, ibu lagi-lagi menariku untuk kembali kerumah seakan-akan aku akan di culik oleh preman. Aku kesal, tanpa alas an ibu menariku seperti itu tapi kali ini aku tidak menanyakan apapun. Aku tidak mau hal yang sama tidak terjadi lagi. Cukup sakit pipi kiriku terkena tamparan ibu dulu. Menjelang malam, aku terbangun. Namun, tak kulihat ibu disebelahku. Aku mencarinya ke seluruh ruangan, namun tak kulihat dia. Seketika itu aku khawatir, aku mencoba keluar rumah. Tepat dihadapanku ada ibu yang tengah rok yang dikenajannya. “bu … ibu habis kemana? Aku cari ibu kemana-mana tapi tidak kulihat juga”, ucapku dengan nada yang cukup tinggi. Dengan suara yang gugup ibu mencoba menjelaskan “ ibu habis ke warung depa, kepala ibu sakit. Sudahlah ayo kita tidur lagi.” Sempat curiga, tapi aku tetap melangkah ke kamar.
Keesokan harinya ketika aku sedang membeli trigu di warung, sempat tetangga bertanya kepada ku Pak Gatot namanya “De, sebenarya ibu kamu kemana ko bapak lihat setiap malam ibu mu ada di luar” wajaku heran tetapi penuh tanya. Di perjalanan pulang aku memikirkan pertanyaan Pak Gatot tadi, aku memikirkannya terus-menerus.
Malam tiba, aku berpura-pura tidur karena rasa penasaranku. Hujan lebat menemani kegelisahan yang ada pada diriku ini. “Krekkkkk” bunyi pintu depan mulai terdengar, lampu utama mobil pun aku lihat dari jendela. Rasa penasaranku bertambah aku mengikuti mobil yang ibu naiki dengan sepeda merahku yang kecil dengan hujan lebat yang membasahi tubuhku. Sampai lah aku pada suatu tempat, aku tidak melihat ibu tapi aku melihat mobil yang ibu tumpaki di tempat itu, aku pun yakin bahwa ibu ada di situ.
Kemudian aku memutuskan untuk masuk ketempat itu. Seketika itum tubuhku lemas, wajahku pucat, pikiranku kacau, “Ibuuuu…” jeritan yang ku keluarkan setelah melihat ibu menggunakan pakaian mini dengan highhills yang menemani seorang pria. Suasana menjadi hening semua mata tertuju pada ku. Ibu kemudian menghampiriku, memelukku dan menjelaskannya. Aku hanya terdiam seakan mati di tempat. Ibu terus saja menjelaskan, dan terus menjelaskan. “Cukup…. Cukup bu, ibu benar-benar telah menghancurkan dunia ku, ibu telah benar-benar menggelapkan masa depan ku. Bahkan seorang pencuri pun lebih mulia dari pada apa yang ibu lakukan ini. Lalu mengapa ibu menamparku seketika aku menyebut ibu mencuri? Mengapa bu? Aku hancur… sangat hancur, ketika aku tau bahwa ibuku sendiri, seorang yang aku sayangi adalah wanita malam. Ucapku dengan nada tinggi serasa ingin, ku hancurkan dunia ini. Aku bergegas lari dari tempat itu, ibu mencegahku terucap di mulutnya “ibu melakukannya karena….” belum  sempat menjelaskan aku pun terhenti seketika “Jadi, aku adalah anak haram?” ucapku dengan nada rendah dan perasaan yang sedih. Mendengar hal itu aku benar-benar merasa mari aku lari terus lari, lari dengan kencanya. Aku tidak menghiraukan hujan lebat, aku tidak menghiraukan suara tlakson kendaraan, aku berlari lagi-lagi berlari. “Darrrrr…” pandanganku memudar saat itu juga suara sirine ambulan datang, ibuku menangis dengan kerasnya aku pun dilarikan kerumah sakit.
Satu jam berlalu, dokter keluar dari ruang ICU yang kemudian menemui ibu setelah memeriksaku “Bagaimana keadaan anak saya dok..?” ucap ibu penuh kawatir. Wajah dokter Alan menunjukkan keadaan yang buruk. “Anak ibu mengalami kecelakaan yang bisa dibilang parah, ia mengalami kebocoran pada jantung sebelah kirinya. Kecil kemungkinan bisa terselamatkan. Untuk itu diperlukan pendonor untuk menggantikan jantung anak ibu.” Mendengar hal itu, ibu terdiam seakan menjadi patung. Tak berpikir panjang, ia relakan jantung yang dimilikinya untuk putri kesayangannya tersebut.
Keesokkan harinya, operasi mulai dilakukan. Alat-alatnya pun sudah tersedia di dalam ruangan. Sembari menatapku, ibu tersenyum dan berbisik “ kau akan baik-baik saja, ibu akan selalu ada didalam dirimu”. Operasi berlangsung 12 jam, waktu yang cukup lama tetapi operasi berhasil dilakukan. Aku mengalami koma selama 6 bulan lamanya.
Setelah tersadar dari koma, pikiranku dan perasaanku masih sama, ada kebencian terhadap ibu. Aku menyesal telah lahir didunia ini. Namun, setelah keadaanku membaik, tante Mirna menceritakan semuanya kepadaku. Ia memberi pengertian dan penjelasan sosok ibuku itu. Diberikannya selembar surat dari ibu kepadaku, “ anakku sayang, maafkan ibumu yang menjijikan ini. Sungguh, ibu terpaksa melakukannya. Kau tau nak, kau sempat bertanya dimana ayahmu, ibu menjawabnya dengan singkat bukan? Ayahmu adalah seorang yang hebat, selama lebih dari 12 tahun ia melawan penyakit yang dideritanya. Ayahmu terkena penyakit kulit yang amat sangat parah, bahkan seorang dokter professional saja mengaku kesulitan  menangani penyakit ayahmu itu. Ayahmu meminta ibu menyembunyikkan identitasnya kepada putri kecilnya, ibupun mengiyakan ucapannya. Kau pun pasti tau bahwa biaya yang dikeluarkan terbilang sangat mahal, untuk itu ibu melakukan hal ini. Maafkan ibumu yang berdosa ini nak, satu hal yang kau harus tau kau bukanlah anak haram seperti apa yang kau ucapkan. Ibu dan ayah amatlah menyayangimu” setelah membacanya akupun tak segan meneteskan air mata yang amat pedih Karena aku tahu bahwa niat ibu melakukan hal itu sebagai wujud baktinya. Akupun berjanji aku akan selalu menjaga jantung ibu di dalam diriku ini.


No comments:

Post a Comment