AKU
Karya Nadia Pasha
Lemah, itu yang saat ini aku rasakan. Kosong, sebuah kata yang tepat
untuk duniaku. Gelap, entah bagaimana ku uraikan maknanya, karena tidak satupun
cahaya kecil yang aku lihat. Aku tidak tahu aku berada di alam mana. Aku hanya
mendengar sebuah ketukan, ketukan yang berulang. Tidak, sepertinya bukan
ketukan, suara itu terdengar nyaring. Ya … aku dapat mendengarnya dengan jelas.
Terkadang, aku mendengar percakapan seseorang, aku mendengar tangisan,bahkan
aku mendengar seseorang yang seolah-olah berbicara kepadaku. Aku mendengar
orang mengaji, merduu sekali. Seakan ketenangan muncul secara tiba-tiba.
Suatu ketika, keajaiban datang kepadaku. Kulitku dapat merasakan
sesuatu, aku benar-benar merasakannya. Aku merasakan bahwa aku telah menyentuh
suatu permukaan, entah apapun itu. Tanganku … tanganku dengan perlahan
bergerak, bergerak keatas walau dengan perasaan yang lemah, tapi aku merasakan
pergerakannya. Sekilas, cahaya putih aku lihat dengan mataku, cahaya yang amat
sangat kecil yang kemudian cahaya itu seolah mendekatiku, membesar terus
membesar.
Seketika itu, aku melihat cahaya lain, cahaya yang berwarna. Jantungku
berdetak dengan begitu cepat. Saat itu
juga, mataku terbuka lebar. Aku melihatnya, aku melihat orang-orang yang pada
saat itu mengelilingiku, yang ternyata itu keluargaku sendiri. Ya, tante Mirna
dan om Bobby serta sepupuku Arka. Aku ingat semuanya.
Dengan spontan, mereka memanggil dokter, “ dok .. dokteeerrr.’’ Begitulah
ucapnya yang begitu keras. Tak lama kemudian, dokter datang dan memeriksaku
dengan alat, ya… dengan stetoskop.
Dokter memeriksa seluruh anggota badanku. Tangis kebahagiaan dapat aku lihat
pada wajah keluargaku, tangis penuh harapan. “Gimana dok? Gimana keadaannya?” ucap
om Bobby. Sembari memeriksa, dokter mengatakan bahwa keadaanku jauh lebih baik,
hanya perlu istirahat yang lebih lama.
Aku tidak mengerti apa yang coba mereka jelaskan. Bahkan, aku tidak
mengerti mengapa aku berada di tempat ini. Tempat dimana terdapat tabung besar
dengan ventilator yang saat ini aku
pakai. Tempat dimana masih ada alat-alat besar lainnya. Sedikit demi sedikit,
aku mencoba mengingat semuanya, walau itu sakit aku harus tetap coba
mengingatnya. Aku hiraukan pembicaraan keluarga kepadaku. Ya … aku mulai ingat,
aku mengingatnya. Disitu aku menangis, inginku menangis sekeras mungkin, namun
apa daya diriku amatlah lemah. Air mata menetes dimataku, aku benar-benar tak
kuasa, karena aku mengingat semuanya. Ibu … benar … ibu … .
Aku ingat, waktu itu aku benar-benar merasakan kebahagiaan. Aku melihat
senyum sumringah ibu yang bermain denganku. Ibuku sangatlah menyayangiku. Aku
adalah anak satu-satunya. Dan ayahku … aku tidak tahu, aku tidak tahu wajahnya,
aku tidak tahu warna kulinya, bahkan aku tidak tahu namanya. Sempat aku
menanyakan “dimana ayahku bu ?” ibu menjawabnya dengan ringan “ayahmu sudah
berada di alam yang jauh lebih indah.” Sejenak aku mengerti perkataan ibu, aku
mengerti bahwa ayahku telah tiada. Sejak saat itu, aku tidak menanyakannya
lagi, aku tidak ingin membuat ibuku sedih. Sejak itu pula, aku berjanji pada
diriku sendiri bahwa aku akan menjaga ibu dengan segenap jiwaku. Hari-hariku
aku jalani bersamanya. Aku sangat bahagia. Mungkin aku mempunyai berkali-kali lipat
rasa saying anak pada ibunya.
Suatu ketika, aku pergi ke pasar bersama ibu untuk membeli
sayur-sayuran. Terlihat, pameran buku sedang diadakan. “bu, aku mau liat
pameran buku itu”, ucapku pada ibu. Akhirnya aku melihatnya sembari ibu
berbelanja tak lama kemudian ibu datang kepada ku lalu menarikku dengan wajah
pucat dan nafas yang terengah-engah. “ Bu… Ada apa bu? Ibu… “ ibu terus
menarikku dengan keras “lari nak… lari…” ucapnya yang begitu keras. Sesampainya
di rumah ibu duduk masih dengan nafas yang terengah-engah “Sebenarnya apa yang
terjadi? Jawab bu… ibu kenapa? Apa ibu mencuri? “Preeetttt tamparan keras aku terima dari tangan ibu. Tanpa kata,
ibu masuk ke kamar. Aku sungguh menyesali apa yang aku ucapkan. Aku mengetuk
pintu, mengetuknya berulang – ulang tidak juga dibukakan pintu oleh ibu. Aku
menunggunya, beberapa jam kemudian ibu membukakan pintu serentak ucapku padanya
“bu… maafkan aku, aku menyesal bu aku sungguh menyesal” Ibu memelukku dengan
begitu erat. “ngga papa sayang, tapi kamu harus janji kamu ngga boleh ngomong
apapun yang menyakiti hati seseorang”.
Terkadang aku bingung akan sikap ibu. Kadang aku tidak mengerti apa yang
ada dipikirannya setiap malam ibu selalu melamun, entah apa yang dilamunkannya
aku tidak berani menanyakan itu. Beberapa hari kemudian kejadian yang sama
terulang kembali, ibu lagi-lagi menariku untuk kembali kerumah seakan-akan aku
akan di culik oleh preman. Aku kesal, tanpa alas an ibu menariku seperti itu
tapi kali ini aku tidak menanyakan apapun. Aku tidak mau hal yang sama tidak
terjadi lagi. Cukup sakit pipi kiriku terkena tamparan ibu dulu. Menjelang
malam, aku terbangun. Namun, tak kulihat ibu disebelahku. Aku mencarinya ke
seluruh ruangan, namun tak kulihat dia. Seketika itu aku khawatir, aku mencoba
keluar rumah. Tepat dihadapanku ada ibu yang tengah rok yang dikenajannya. “bu
… ibu habis kemana? Aku cari ibu kemana-mana tapi tidak kulihat juga”, ucapku
dengan nada yang cukup tinggi. Dengan suara yang gugup ibu mencoba menjelaskan
“ ibu habis ke warung depa, kepala ibu sakit. Sudahlah ayo kita tidur lagi.”
Sempat curiga, tapi aku tetap melangkah ke kamar.
Keesokan harinya ketika aku sedang membeli trigu di warung, sempat
tetangga bertanya kepada ku Pak Gatot namanya “De, sebenarya ibu kamu kemana ko
bapak lihat setiap malam ibu mu ada di luar” wajaku heran tetapi penuh tanya.
Di perjalanan pulang aku memikirkan pertanyaan Pak Gatot tadi, aku
memikirkannya terus-menerus.
Malam tiba, aku berpura-pura tidur karena rasa penasaranku. Hujan lebat
menemani kegelisahan yang ada pada diriku ini. “Krekkkkk” bunyi pintu depan mulai terdengar, lampu utama mobil pun
aku lihat dari jendela. Rasa penasaranku bertambah aku mengikuti mobil yang ibu
naiki dengan sepeda merahku yang kecil dengan hujan lebat yang membasahi
tubuhku. Sampai lah aku pada suatu tempat, aku tidak melihat ibu tapi aku
melihat mobil yang ibu tumpaki di tempat itu, aku pun yakin bahwa ibu ada di
situ.
Kemudian aku memutuskan untuk masuk ketempat itu. Seketika itum tubuhku
lemas, wajahku pucat, pikiranku kacau, “Ibuuuu…” jeritan yang ku keluarkan
setelah melihat ibu menggunakan pakaian mini dengan highhills yang menemani seorang pria. Suasana menjadi hening semua
mata tertuju pada ku. Ibu kemudian menghampiriku, memelukku dan menjelaskannya.
Aku hanya terdiam seakan mati di tempat. Ibu terus saja menjelaskan, dan terus
menjelaskan. “Cukup…. Cukup bu, ibu benar-benar telah menghancurkan dunia ku,
ibu telah benar-benar menggelapkan masa depan ku. Bahkan seorang pencuri pun
lebih mulia dari pada apa yang ibu lakukan ini. Lalu mengapa ibu menamparku
seketika aku menyebut ibu mencuri? Mengapa bu? Aku hancur… sangat hancur,
ketika aku tau bahwa ibuku sendiri, seorang yang aku sayangi adalah wanita
malam. Ucapku dengan nada tinggi serasa ingin, ku hancurkan dunia ini. Aku
bergegas lari dari tempat itu, ibu mencegahku terucap di mulutnya “ibu
melakukannya karena….” belum sempat
menjelaskan aku pun terhenti seketika “Jadi, aku adalah anak haram?” ucapku
dengan nada rendah dan perasaan yang sedih. Mendengar hal itu aku benar-benar
merasa mari aku lari terus lari, lari dengan kencanya. Aku tidak menghiraukan
hujan lebat, aku tidak menghiraukan suara tlakson kendaraan, aku berlari
lagi-lagi berlari. “Darrrrr…”
pandanganku memudar saat itu juga suara sirine
ambulan datang, ibuku menangis dengan kerasnya aku pun dilarikan kerumah sakit.
Satu jam berlalu, dokter keluar dari ruang ICU yang kemudian menemui ibu
setelah memeriksaku “Bagaimana keadaan anak saya dok..?” ucap ibu penuh
kawatir. Wajah dokter Alan menunjukkan keadaan yang buruk. “Anak ibu mengalami
kecelakaan yang bisa dibilang parah, ia mengalami kebocoran pada jantung
sebelah kirinya. Kecil kemungkinan bisa terselamatkan. Untuk itu diperlukan
pendonor untuk menggantikan jantung anak ibu.” Mendengar hal itu, ibu terdiam
seakan menjadi patung. Tak berpikir panjang, ia relakan jantung yang
dimilikinya untuk putri kesayangannya tersebut.
Keesokkan harinya, operasi mulai dilakukan. Alat-alatnya pun sudah
tersedia di dalam ruangan. Sembari menatapku, ibu tersenyum dan berbisik “ kau
akan baik-baik saja, ibu akan selalu ada didalam dirimu”. Operasi berlangsung
12 jam, waktu yang cukup lama tetapi operasi berhasil dilakukan. Aku mengalami
koma selama 6 bulan lamanya.
Setelah tersadar dari koma, pikiranku dan perasaanku masih sama, ada
kebencian terhadap ibu. Aku menyesal telah lahir didunia ini. Namun, setelah
keadaanku membaik, tante Mirna menceritakan semuanya kepadaku. Ia memberi pengertian
dan penjelasan sosok ibuku itu. Diberikannya selembar surat dari ibu kepadaku, “
anakku sayang, maafkan ibumu yang menjijikan ini. Sungguh, ibu terpaksa
melakukannya. Kau tau nak, kau sempat bertanya dimana ayahmu, ibu menjawabnya
dengan singkat bukan? Ayahmu adalah seorang yang hebat, selama lebih dari 12
tahun ia melawan penyakit yang dideritanya. Ayahmu terkena penyakit kulit yang
amat sangat parah, bahkan seorang dokter professional saja mengaku kesulitan menangani penyakit ayahmu itu. Ayahmu meminta
ibu menyembunyikkan identitasnya kepada putri kecilnya, ibupun mengiyakan
ucapannya. Kau pun pasti tau bahwa biaya yang dikeluarkan terbilang sangat
mahal, untuk itu ibu melakukan hal ini. Maafkan ibumu yang berdosa ini nak,
satu hal yang kau harus tau kau bukanlah anak haram seperti apa yang kau
ucapkan. Ibu dan ayah amatlah menyayangimu” setelah membacanya akupun tak segan
meneteskan air mata yang amat pedih Karena aku tahu bahwa niat ibu melakukan
hal itu sebagai wujud baktinya. Akupun berjanji aku akan selalu menjaga jantung
ibu di dalam diriku ini.
No comments:
Post a Comment